Kamis, 15 Januari 2009

Dampak krisis global bagi buruh pabrik


Perayaan menyambut tahun 2009 boleh berlangsung meriah. Namun, tahun ini akan menjadi tahun pembuktian daya tahan Indonesia menghadapi gelombang krisis keuangan global. Kenangan pahit krisis 1998 masih membekas. Mampukah kita kali ini mencegahnya?

Jutaan orang telah kehilangan pekerjaannya saat krisis tahun 1998, dan sebagian besar harus terusir dari rumahnya karena tak mampu membayar kredit pemilikan rumahnya. Akankah hal serupa terulang di tahun 2009, saat bangsa ini sibuk melaksanakan pemilu?

Selama ini jika muncul persoalan di dunia usaha, buruh selalu menjadi ”korban” pertama. Buruh yang selalu didengungkan sebagai modal utama dunia usaha, kini dianggap seolah momok. Sejak terjadi krisis pasokan listrik sampai krisis global, buruhlah yang pertama kali diutak-atik untuk menjamin kesinambungan produksi, bukan BUMN pemasok listrik atau ekonomi biaya tinggi yang merugikan dunia usaha. Namun, bukan masalah itu yang diangkat menjadi topik utama Refleksi Soal Ketenagakerjaan oleh 30 Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Jakarta, Selasa (30/12). Acara yang diselenggarakan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) itu untuk mempertemukan para pemimpin serikat buruh/serikat pekerja dalam satu forum, untuk mencari solusi mengantisipasi krisis global.

Krisis global membuat nasib buruh semakin rentan, karena setiap saat bisa kehilangan pekerjaan. Jutaan buruh yang hidup sudah di ambang garis kemiskinan, kini dalam kegelisahan yang luar biasa. Nasib baik masih menyertai mereka yang bisa mendapatkan hak pesangon. Namun, faktanya, jumlah yang tak mendapatkan pesangon berkali lipat lebih banyak. Oleh karena itu, para tokoh serikat buruh tidak ingin meremehkan krisis keuangan global yang berembus dari Amerika Serikat dan Eropa.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan sedikitnya 1,5 juta orang bakal terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pertengahan 2009. Pasar AS dan Eropa yang menciut menyebabkan industri kehilangan permintaan. Utilisasi pabrik pun berkurang 30 persen. Langkah penghematan dilakukan, dan pekerja kontrak bertahap dikurangi. Jika semua upaya itu belum dapat menyelamatkan keuangan perusahaan, maka PHK tak dapat dihindari. Sampai 12 Desember 2008, Tim Monitoring Dampak Krisis Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat sudah 17.488 orang terkena PHK, dan 23.927 pekerja bakal terkena PHK. Sebanyak 6.597 orang sudah dirumahkan dan 19.091 pekerja bakal dirumahkan.

Empat rekomendasi
Dari forum yang berlangsung sekitar lima jam tersebut, para tokoh serikat buruh/serikat pekerja merumuskan empat rekomendasi untuk pemerintah.

Pertama, pemerintah harus secepatnya merealisasikan program padat karya dari anggaran belanja negara, untuk menyerap korban PHK. Pemerintah juga harus mengawasi pengusaha agar mempersiapkan dana pesangon untuk korban PHK.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan peranan badan usaha milik negara (BUMN) menggerakkan investasi domestik. Serikat buruh/serikat pekerja meminta strategi itu dijalankan dengan transparan dan akuntabel.

Ketiga, pemerintah harus menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 1,3 juta per bulan per orang menjadi minimal Rp 2 juta per bulan per orang. Sehingga, bisa menaikkan daya beli buruh, dan konsumsi tetap tumbuh.

Keempat, pemerintah harus segera membentuk pusat krisis terpadu yang melibatkan serikat buruh/serikat pekerja, pengusaha, menteri terkait, yang dipimpin menteri teknis di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Dampak krisis

Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal, industri yang paling terkena dampak krisis saat ini adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik dan komponen otomotif. Adapun industri otomotif nasional dinilai masih dapat bertahan, terutama industri perakitan, yang memasarkan produk di pasar domestik.Industri TPT dan elektronik memang masih memiliki order dari pembeli internasional sampai April 2009, yang merupakan sisa order tahun 2008. Namun, untuk masa selanjutnya masih belum jelas.

Untuk mengantisipasi semakin meluasnya PHK, pemerintah harus menerbitkan surat edaran menteri yang menjelaskan tahap PHK, yang harus dipenuhi pengusaha. Ini untuk menyelamatkan nasib buruh.
Dengan surat edaran tersebut, buruh bisa mempersiapkan diri dan keluarga sebelum tiba-tiba pengusaha mengumumkan PHK massal atau sebagian. Oleh karena itu, dialog bipartit di internal perusahaan sangat penting. Katakanlah bila pengusaha membayar pesangon buruh yang terkena PHK, maka harus diumumkan sebelum PHK terjadi sehingga buruh lebih cepat mempersiapkan diri.

Ancaman semata

Walau tidak menafikan gelombang PHK bakal meluas tahun 2009, Iqbal mengatakan, jumlahnya tak akan sebesar klaim pengusaha. Menurut Iqbal, sejumlah pengamat ekonomi dan pejabat pemerintah bidang perencanaan pembangunan nasional memprediksi buruh yang terkena PHK tak sampai 100.000 orang.

”Jumlah PHK 2009 tak akan sampai jutaan orang seperti yang disampaikan pengusaha. Namun, kami tetap meminta agar dilibatkan dalam upaya mencari jalan terbaik mencegah PHK massal akibat krisis global,” ujar Iqbal.

Sebelumnya, aktivis Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Ilham, melontarkan gagasan, buruh korban PHK mengambilalih pabrik dari pengusaha dan mengelolanya sendiri. Sebab, membiarkan buruh terkena PHK dan menerima hak pesangon bukan solusi. Namun, ekonom Faisal Basri, yang menjadi pembicara dalam forum tersebut, menyatakan, gagasan mengambil alih pengelolaan perusahaan tidak tepat. Menurut Faisal, bekerja memproduksi barang atau jasa berbeda dengan mengelola kegiatan produksi di perusahaan. Oleh karena itu, jika buruh bersikeras mengelola perusahaan tanpa melibatkan profesional (manajer), yang khusus digaji untuk itu, maka lambat laun perusahaan itu akan hancur. Faisal mencontohkan praktik serupa pernah terjadi di Jerman. Namun, pekerja hanya mengelola gerai-gerai eceran perusahaan tersebut, sedangkan pabrik tetap dikelola manajer. Hasilnya, jaringan gerai tersebut hancur meskipun pabrik masih tetap beroperasi.
Faisal menambahkan, hal serupa juga pernah terjadi di Kosti. Ketika itu, para sopir memecat Faisal sebagai manajer Kosti, dan memilih mengelola sendiri perusahaan. Namun, yang terjadi kemudian adalah kegagalan. ”Jadi, kita harus hati-hati sebelum berbicara. Retorika saja saat ini tidak cukup. Ada tidak ada krisis, PHK sudah terjadi. Tetapi, kenapa tidak mencuat? Karena pengusaha memilih merumahkan buruh dengan membayar gaji pokok saja, yang masih lebih murah ketimbang ongkos pesangon bila harus PHK,” kata Faisal.

Dijelaskan, daripada mengeluarkan Rp 20 miliar untuk pesangon 200 buruh, pengusaha memilih merumahkan buruh, dan mendepositokan dananya. Upah pokok buruh yang dirumahkan diperoleh dari bunga deposito. ”Dan pengusaha masih tetap mendapat untung dari bunga depositonya,” tutur Faisal. Soal angka PHK, Faisal tidak menyebut angka pasti. Namun, dia memprediksi jumlahnya tak akan sebesar yang diprediksi berbagai kalangan belakangan ini. Pasalnya, pasar domestik masih tumbuh, dan daya beli masih ada. Kini, lanjut Faisal, pemerintah harus berkonsentrasi mendorong industri padat karya dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Jika pemerintah fokus dan terarah mengarahkan anggaran, negeri ini akan bisa menepis dampak krisis. Satu hal yang juga penting adalah keterpaduan komponen bangsa. Bukan malah mencoba mengail di air keruh untuk kepentingan politik jangka pendek dengan mengorbankan rakyat dalam jangka panjang.

Semoga kekhawatiran akan situasi yang semakin buruk tidak terbukti karena kelihaian para pemimpin negara, perusahaan, buruh, akademisi, dan pemangku kepentingan bangsa untuk bersinergi memainkan peran mereka masing-masing.

http://www.kompas..com/read/xml/2008/10/27/07062436/waspadai.gelombang.pemutusan.hubungan
http://www.kompas..com/read/xml/2008/10/22/1512549/pengusaha.akibat.krisis.siap-siap.phk
http://www.kompas..com/read/xml/2008/10/23/06324168/70.000.buruh.terancam.phk

Tidak ada komentar: